Hari Untuk Alex Dan Ferry Asmasoebrata

By Caesar Sardi - Selasa, 25 Juni 2013 | 09:00 WIB
Ferry Asmasoebrata di atas Datsun SSS yang memberinya dua piala dalam Bhayangkara Race 84 di Sirkuit Ancol. Dengan nomor 23, mobil ini juga memberikan dua piala kepada kakaknya, Alex
Dok. Tabloid BOLA
Ferry Asmasoebrata di atas Datsun SSS yang memberinya dua piala dalam Bhayangkara Race 84 di Sirkuit Ancol. Dengan nomor 23, mobil ini juga memberikan dua piala kepada kakaknya, Alex

Ini memang menarik. Sebuah mobil dipakai dua pembalap, bergantian. Dan menghasilkan empat piala: tiga untuk kedudukan pertama, satu untuk urutan kedua. Masih harus ditambahkan, kedua pembalap itu saudara sekandung.

Keluarga Ipik Asmasoebrata, yang mungkin lebih dikenal sebagai tokoh politik, sebenarnya memang keluarga pembalap. Pak Ipik sendiri amat getol dalam masalah kuda balap di samping golf. Ia juga cukup lama berkecimpung dalam kepengurusan Pordasi. Darah balap ini rupanya menurun kepada semua anaknya, kecuali satu-satunya wanita, Neneng.

Anak tertua, Dadang, berbakat dan menggemari balap mobil dan reli, meski kini tinggal jadi penonton karena kesibukannya sebagai pegawai negeri di Pemda DKI. Tapi yang lebih berbakat dan potensial adalah kedua adiknya, Alex dan Ferry. Pada kedua bersaudara termuda inilah cerita tentang satu mobil dan empat piala itu berputar.

Kejadiannya di Sirkuit Ancol, 30 Desember lalu. Acaranya: Bhayangkara Race 84, diselenggarakan oleh tokoh kawakan Tinton Suprapto dan kawan-kawannya.

Bagi Alex lomba balap kali ini memang hari istimewa. "Ini balapan saya yang kedua setelah istirahat sejak 1979," katanya. "Come back"-nya yang pertama adalah pada ASEAN Race II bulan Juli, juga di Ancol. Waktu itu ia belum bisa tampil cukup tegar, tapi lima bulan kemudian dua kemenangan langsung direbutnya.

Dalam Grup A Bebas sd 1600 cc ia tampil sebagai pemenang di atas Indra Saksono (Honda Civic) dan Evie Bahar (Honda Civic). Pada Grup 1600 cc ke atas, Alex merebut gelar dengan membawahi dua pembalap yang lebih berpengalaman, Sidarto SA (Datsun) dan Aswin Bahar (Honda Civic).

"Yang lebih membuat saya puas, saya juga mencatat kecepatan satu putaran tertinggi, 2 menit 15 detik. Ini merupakan rekor baru karena kecepatan tertinggi sebelumnya 2:18," tutur Alex.

Dalam nomor FFA (Free For All) Alex tak ambil bagian, meski sebetulnya ia sangat ingin. "Soalnya kalau saya ikut banyak pembalap tidak mau ikut. Jadi saya menariK diri," tukasnya.

Tapi toh piala juara untuk nomor terberat itu tidak lari ke mana-mana. Di situlah Ferry muncul: dengan mobil yang sama. Datsun SSS yang dibeli Alex tiga tahun lalu - dan hasilnya sama sekali tidak mengecewakan.

Itu piala kedua bagi Ferry pada Minggu yang cukup ramai di Ancol itu. Sebelumnya, ia bertarung gigih dan memimpin sejak putaran pertama pada Grup A untuk nomor 1301-2500 cc, tapi harus puas dengan kedudukan kedua di bawah Sunandi (Honda Civic), di atas Channy (Mazda 323).

"Itu kesalahan saya sendiri. Tapi panitia juga ngawur, membuat perubahan panjangnya balapan tanpa pemberitahuan," ujar Ferry. Menurut rencana semula, nomor itu dipertandingkan 8 putaran, tapi tiba-tiba diperpendek jadi 6 putaran. Ferry, yang tak mengetahui perubahan itu, santai saja membetulkan kerusakan mobilnya di putaran 5 dengan keyakinan akan bisa menyusul semua lawannya dalam tiga putaran terakhir. Ternyata balapan hanya tinggal satu putaran.

"Penyelenggaraan balap kita memang masih semrawut. Semangat orang seperti Tinton memang harus diakui, tapi sebaiknya disertai dengan pengorganisasian yang lebih rapi. IMI memang harus lebih aktif," komentar Alex yang menjadi siswa Sekolah Balap Brands Hatch di London, 1979.

"Persaingan masih tak sehat. Masih banyak yang tak mau melihat orang lain berprestasi. Segala cara dipakai agar hanya dia atau kelompoknya saja yang menonjol," tutur Alex, 34, pengusaha konfeksi dan logam.

Selain kesemrawutan pengorganisasian seperti dialami Ferry tadi, pangaturan mobil di pit, penjadwalan balapan yang pasti, dan pemberian hadiah yang tak imbang juga dianggap Alex sebagai kelemahan dalam dunia balap nasional. Hadiah yang diberikan panitia untuk para pembalap memang amat tak menarik.

Hadiah I seperti yang direbut Alex dan Ferry itu misalnya, hanyalah Rp 79.000. "Padahal uang pendaftarannya Rp 42.000. Yah, memang masih ada lebihnya, tapi apa pantas?"

Bagi Alex sendiri sebenarnya tak begitu jadi masalah. Dari PT. Dian Wasana ia mendapat "sponsor kalau menang" yang cukup besar. Itulah juga yang menghiburnya dan sekaligus menantangnya. Sebab dengan uang sponsor itu ia diikat untuk terus berprestasi, setidaknya sepanjang tahun ini ketika istrinya masih memberi lampu hijau.

(Penulis: Sumohadi Marsis, Tabloid BOLA edisi no. 46, Jumat 11 Januari 1985)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X