Piala Dunia, Menuju Sepakbola Nintendo

By Caesar Sardi - Selasa, 29 April 2014 | 12:00 WIB
Carlos Valderrama.
Getty Images
Carlos Valderrama.

masing.

Jatuhnya Kolombia sebenarnya tidak harus mengejutkan. Mereka melambung gara-gara Pele, gara-gara bisa memukul Argentina 2-1 dan 5-0 di penyisihan zone. Wartawan USA Today pun memperolok Carlos Valderrama sebagai pemain yang menyandang motto: "Hair today, goal tomorrow".

Rasanya kita juga tidak terkesan dengan penampilan andalan tim Kolombia ini. Paling sedikit hambatan penampilannya adalah usianya yang sudah 32 tahun. Cukup tua untuk pemain dunia. "Bintang" yang seusia dengan dia antara lain Lothar Mathaeus dan Diego Maradona. Publisitas untuk mereka jauh leblh hebat daripada penampilannya.

Kamerun tersingkir bukan karena kekurangan fans di dalam stadion. Bermain sepakbola ternyata tidak cukup hanya dengan modal naluri, ketrampilan, dan ausdaeur. Kecerdasan juga amat berperan. Partai yang dimainkannya dengan Brasil sungguh menguras tenaga, sementara tim Samba menggulirkan bola dari kaki ke kaki tanpa banyak mengucurkan keringat.

Tim mantan negara-negara blok komunis tampaknya masih harus memikul beban belum stabilnya kondisi sosial setempat pasca robohnya komunisme. Rusia dan Bulgaria tidak memperlihatkan kebesaran masa lalu persepakbolaannya.

Rumania, yang sejak dulu "merah jambu", tidak sungkan memasukkan elemen sepakbola modern dalam permainannya. Permainan George Hagi mencerminkan masa depan sepakbola mantan negara blok Timur ini.

Arab Saudi dan Korea Selatan sebagai wakil Asia ternyata mampu membuktikan hipotesa sementara orang yang mengatakan bahwa kemajuan sepakbola berbanding lurus dengan kemakmuran suatu negara.

Siapa ragu akan kebolehan ekonomi Korea Selatan sekarang sebagai "Macan Asia" yang paling disegani. Lantas "oil boom" di Arab Saudi yang berkibar sejak tahun 1970-an membawa berkah ke lapangan rumput plastik di sana. Sejak zaman striker Majid Abdullah yang muncul awal 1980-an, tanda-tanda kemajuan sepakbola negara padang pasir itu mulai terlihat.

Jalan Buntu

Sejumlah pirsawan wanita yang diminta pendapatnya oleh jaringan televisi Indonesia mengatakan alasan menjagokan Italia karena pemainnya ganteng-ganteng.

Semula alasan itu kayaknya urusan bercanda saja. Tapi setelah putaran awal, alasan semacam itu dapat diterima. Roberto Baggio tidak berbeda dengan Valderrama, ia hanya memperagakan mode rambutnya saja.

Permainan Italia, seperti halnya Belanda, tidak mengesankan. Italia dihajar Irlandia, dan kedodoran menghadapi Meksiko. Ronald Koeman dari negeri keju, tubuhnya kian subur. Bila ia "nanjak" membantu serangan, sering tidak bisa "pulang" ke daerah pertahanannya karena pertambahan usia dan lemak. Sementara di lini depan, Belanda tidak punya andalan macam Gabriel Batistuta (Argentina) atau Romario Faria (Brasil).

Swiss, Belgia, dan Swedia boleh jadi berpeluang ke semi-final. Tetapi "tulang"nya masih muda untuk menjadi finalis. Duta Eropa untuk ke final tampaknya akan disandang Jerman.

Amerika Serikat adalah tuan rumah yang beruntung dan "manis". Mereka bermain bersih dan berupaya menarik simpati publik sepakbola dunia. Presiden Bill Clinton ikut mengatakan bahwa sepakbola adalah lingua franca. New York Times lantas menanggapi, "bahasa" itu belum dimengerti di sini.

Dan dalam rangka sosialisasi bahasa sepakbola, setiap hari USA Today di halaman muka memasang gambar pemain-pemain Amerika "in action", mulai dari kiper Tony Meola sampai sayap kanan Ernie Stewart.

Di luar stadion, pengaruh sepakbola melebihi American Football yang telah lama disukai. Sepakbola dapat membantu misi diplomatik, tidak tenis, bola sodok, atau lompat jangkit. Tampaknya, dengan memudarnya kharisma sepakbola Eropa di Piala Dunia sekarang, pasca Piala Dunia akan banyak penyandang dana yang akan "bercocok tanam" di lapangan sepakbola di Amerika. Karena ternyata publik Amerika dapat "dibina" juga kegemarannya akan soccer. Terbukti dari meriahnya suasana di dalam dan di luar stadion tempat kompetisi bergulir sekarang ini.

Siapa Ke Final

Salah satunya mungkin Jerman. Lalu, siapa kontestan lainnya lagi? Mungkin Brasil, mungkin juga Argentina. All Latin American Final tampaknya sulit terjadi.

Kenapa? Karena disamping Jerman, tim Eropa seperti Spanyol dan Belgia harus dihadapi dulu oleh Maradona cs, atau Rai cs.

Untuk menuju ke final, sebuah tim rasanya tidak cukup hanya memperhitungkan faktor-faktor yang ada di lapangan saja. Faktor kecerdasan dan pengalaman pelatih lawan yang duduk di luar lapangan perlu dihitung.

Brasil kini "menurunkan" veteran Mario Zagalo untuk mendampingi pelatih Carlos Alberto Parreira. Menurut Utusan Malaysia, Zagalo adalah orang yang berhasil meredam cekcok dalam tubuh Brasil.

World Soccer bilang, lawan Brasil yang terberat adalah dirinya sendiri (Brasil, the enemy within'). Kharisma Zagalo berhasil menjinakkan pemain temperamental seperti Romario Faria. Dan Zagalo bukan hanya menjadi "juru damai" interen, ia juga arsitek pertahanan Brasil. Lini pertahanan adalah kelemahan paling menonjol yang membuat Brasil tersingkir di Piala Dunia 1982, 1986,
dan 1990.

Argentina punya fighting spirit yang tiada tara. Tetapi tim Argentina terdiri dari kombinasi veteran seperti Maradona, atau orang yang tidak muda lagi seperti Caniggia, dan mereka yang jam terbang sepakbolanya masih rendah.

Semangat dalam permainan sepakbola bukan segala-galanya. Namun begitu, tradisi sepakbola Argentina mewarisi kelicikan yang mengejutkan. Mulai dari gol "Tangan Tuhan" Maradona, sampai dengan upaya memaksa seri, lalu adu penalti. Dan, Luis Cesar Menotti mempertajam kemahiran anak buahnya dalam "ilmu" adu penalti.

Nintendo

Faktor lain yang perlu diperhitungkan oleh kontestan Piala Dunia yang lolos ke perdelapan final adalah "kekuatan" yang berada di luar stadion. Lihat "drama" yang terjadi di ring tinju. Ada petinju yang tidak kalah-kalah, akhirnya masuk bui atas tuduhan pelecehan seksual.

Di sirkult balap mobil terjadi pula "drama" baru-baru ini, di mana pembalap legendaris Ayrton Senna tutup usia waktu balapan. Sedangkan sehari sebelumnya di tempat yang sama pembalap lain dijemput malaikat maut.

Kini, sepakbola merupakan industri yang jaringannya makin lebar. Soccer network bukan main meluasnya. Ia menyerempet industri komunikasi, juga otomotif, dan jenis-jenis lainnya. Apalagi Panitia Pelaksana Piala Dunia kali ini ditangani Alan Rothenberg, niscaya bobot bisnisnya jauh lebih menonjol daripada sepakbola itu sendiri.

Tampaknya kita sedang menuju "sepakbola nintendo", setelah runtuhnya total football negative football, dan jogo bonito football.

(Penulis: Ridwan Saidi - mantan Ketua Umum HMI, Anggota DPR, dan selalu mengamati perkembangan sepakbola dunia)


Editor : Caesar Sardi
Sumber : Mingguan BOLA Edisi No. 539, Minggu Pertama Juli 1994


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X